Beranda » Pujangga » Hitungan Lima Jari

Hitungan Lima Jari

Kau jaga slalu hatimu,

saat jauh dariku tunggu aku kembali

Ku mencintaimu slalu

Menyayangimu sampai, akhir menutup mata”

Lantunan lagu indah itu menemani perjalananku pagi ini. Oh, bukan perjalananku. Lebih tepatnya perjalanan Galih mengantarku menuju sebuah gerbang baru. Jalanan hari ini serasa sempit, pendek, dan sebentar. Andai saja aku nenek sihir, aku benar-benar akan menyihir dunia ini untuk tetap diam pada tempatnya. Tanpa ada langkah, tanpa ada detik jarum jam, dan tanpa ada kejadian menyesakkan yang sebentar lagi akan aku alami.

“Kenapa diam?” Tanya Galih menggenggam kedua tanganku yang sejak tadi saling mencekik diatas pangkuanku. Aku menggeleng. Menatapnya sesaat. Dan segera aku menambah volume music yang ada di dashboard mobil.

Galih hanya diam, mengecilkan volume music itu, dan menghela nafas panjang. Tanpa menatapku, dengan lembutnya membelai kepalaku.

“Seharusnya gk ada yang perlu kamu khawatirkan. Semua pasti baik-baik saja. Kamu tahu seberapa sebentarnya lima tahun itu? Rasanya hanya seperti kamu menghitung angka dari satu sampai lima. Setelah kelima jari itu habis, ya sudah.” kata Galih masih sambil mengendalikan stir mobilnya.

“aku……aku bahkan gk tahu besok akan seperti apa.”

“seandainya smua orang didunia ini tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, hidup gk akan semenarik ini.” jelasnya tanpa menatapku.

Hening. Aku diam lagi. Sejuta kalimat sudah ada diujung kepalaku sebenarnya. Tp untuk memaparkan satu persatu tampak sulit. Sulit untuk menyusunnya dengan rapih.

Aku tersentak saat Galih menghentikan mobilnya. Membukakan pintu untukku.

“Pergilah. Aku pasti menjadi salah satu manusia yang akan dengan tulus menunggumu kembali.”

Aku memeluknya erat. Sampai pada titik ini aku benar-benar mengharapnya setia. Mengharapnya menjadi seperti apa mauku.

“Hanya lima tahun. Hanya sampai aku menyelesaikan hitungan semua jari kananku, dan pasti kembali. Jangan pernah berfikir sekalipun, untuk lelah apalagi menyerah di masa-masa sulit kelak. Dan kamu harus datang di wisudaku nanti.” Pintaku meneteskan air mata.

“yah, aku janji” bisiknya lirih

“Aku janji, akan menjadi Anjani-mu yang gk akan pernah merubah hati. Aku janji, aku pasti akan kembali asal kamu tetap setia disini.”

“yah, aku tahu itu” Galih masih berbisik.

Dan hari itu, serasa menjadi hari tersingkat dalam hidupku. Sampai pada bus yang aku tumpangi melaju, meninggalkannya sendiri, sampai pada lambaian tangannya yang tak berhenti hingga tak tampak lagi, sampai pada air mataku yang terus menetes, dan entah sampai kapan…

************

 

Yang ada dikepalaku hanya terus mengharapnya menepati janjinya, meski aku masih belum yakin atas janjiku sendiri. Aku punya pegangan, aku punya sandaran, aku juga punya wadah besar yang akan terus mengikutiku yang siap menampung semua air mata dan keluh kesahku. Setidaknya itu yang menjadikanku setia sampai detik ini. Setia mengangkat setiap telfonnya.

“Aku akan memberikan ragaku, dan isinya, dan hatinya, dan seluruh cinta yang ada disini, meski sekalipun aku belum pernah membahagiakan ragamu. Tapi dengan segenap tenaga yang kupunya, aku akan berusaha ke titik itu. Ke titik dimana aku bisa memberikanmu segalanya seperti dulu. Segala yang kamu minta. Aku sedang merangkak Anjani. Mengejarmu. Hingga aku bisa berlari beriringan denganmu kembali. Biarpun aku tahu, kini langkahku tak selebar langkahmu. Simpan janjiku itu Anjani. Seberapa jauhpun hasilnya kelak, aku akan tetap meraihmu. Apapun yang dunia bilang, aku tidak akan pernah malu atas keadaanku. “ barisan kalimatnya ini sering tersyair untukku. Apalagi sesaat setelah suatu keadaan berat menimpa keluarga Galih. Saat bisnis keluarganya yang bangkrut, saat ayahnya meninggal karena serangan jantung, saat dia dikeluarkan dari kampus karena tidak bisa lagi membayar biaya kuliah, dan saat kini dia yang juga anak tunggal harus berjuang sendirian menghidupi dirinya sendiri dan ibunya yang juga sakit keras.

            Sungguh tahun pertama yang oleh Tuhan langsung diberikan cobaan yang maha dahsyat pada hubungan kami. Oh bukan kami. Lebih tepatnya pada hidup Galih. Karena ketika aku sampai di sini. Tempat dimana aku menempa hidupku, tiba-tiba saja mulutku selalu berat untuk membalas janjinya dengan janji lagi. Tapi ragu juga tepatnya sejak kapan. Sejak sampai disini, ataukan sejak Galih berubah hidupnya.

Selalu kaku. Berhubungan jauh dengannya bukan membuatku semakin rindu. Justru malah rasanya seperti aku tlah biasa hidup sendiri. Hanya ketika aku benar-benar merasa sesak yang hebat, aku baru akan menghubunginya. Entahlah, terlalu dini untuk bilang jika hatiku tlah berubah, atau jika cintaku sedikit demi sedikit memudar warnanya. Aku tidak ingin menebak.

Kadang terfikir, kenapa lidahku dulu begitu mudah mengucap janji saat melakoni kisah perpisahan dengannya. Lalu apa bedanya dengan kisah sekarang, untuk mengatakan “aku pulang” saja begitu sulit aku lakukan. Aku merindukannya. Dan aku tidak munafiq akan hal itu. Tapi kenapa berjauhan seperti ini justru semakin lama semakin nyaman saja?

“Selamat ulang tahun tulang rusukku, terimakasih karena disana kamu masih tegar berjuang. Terimakasih tlah menjadi Anjani-ku yang slalu aku rindukan. Ini tahun keduamu bukan? Bagaimana dengan hitungan jarimu? Pasti sudah sampai di jari manis kan? Selamat ya…aku bangga memilikimu. Dan cincin ini semoga menjadi pengingat jika hitunganmu telah sampai dijari manismu. Tinggal tiga jari lagi Anjani. Kamu pasti bisa melewatinya. Dan tetaplah menjadi Anjani manisku yang setia menjaga hatinya karena janjimu kelak hanya akan kamu berikan untukku.”

Sungguh hadiah ulang tahun terindah sebenarnya. Cincin manis bermata satu yang tertanam kuat. Sesuatu yang tidak aku sangka akan Galih kirimkan untukku. Tapi aku justru berprasangka lain atas maksud hadiah ini. Iya, memang di hari ulang tahunku. Tapi bukankah cincin dijari manis adalah tanda bahwa dia memang benar-benar menginginkanku seutuhnya?

Kadang terbayang betapa sulitnya dia berjuang disana kini. Keadaan yang memang sudah tidak segampang dulu. Mungkin untuk makan saja dia harus memeras puluhan liter keringat. Tidak sperti dulu yang jika menginginkan sesuatu tinggal menjentikkan sedikit jari, lalu segala terpenuhi.

 

*******

 

Aku membuka mataku. Nada dering sms di ponselku pagi ini membangunkanku.

“Pagi Anjani-ku. Hari yang indah. Lekas bangun, ucapkan syukur pada Tuhan, dan pergilah menjemput mimpi.”

Aku hanya tersenyum simpul. Perhatian-perhatian kecil seperti ini tidak pernah dia tinggalkan setiap hari. Meski kadang hanya menjadi sampah di ponselku yang belum tentu aku meluangkan waktu untuk sekedar membalasnya.

Aku tidak munafiq. Bahwa pria yang sempurna hatinya, hanya Galih. Bahkan aku sering menyebutnya manusia berhati malaikat. Selalu bisa menempatkan apa yang seharusnya menjadi sikapnya. Galih yang “ngemong”, Galih yang slalu bisa menyelesaikan masalah secara dewasa, Galih yang selalu punya dada terbuka untuk memelukku disetiap sesakku, dan Galih yang bertangan malaikat hingga disetiap sentuhannya slalu mampu menentramkanku. Sosok calon imam yang baik sebenarnya. Hanya selalu saja ada hal yang membuatku terus mempertimbangkannya kembali.

            Sempat terfikir untuk mengakhiri semuanya. Memberikannya banyak waktu mungkin hanya akan membuatnya memperoleh banyak harapan. Sebab kadang aku merasa memang sudah lelah dengannya. Meski tanpa alasan yang jelas.

            Suara klakson mobil tiba-tiba menyeru didepan kontrakanku. Aku bergegas bangun.  Tampak sesosok pria berseragam loreng berada didepan pagar.

“hei…! baru bangun ya?” serunya dari luar. Aku tersenyum lebar. Membukakan pagar untuknya, dan meraih tangannya untuk membawanya masuk. Namanya Dimas Pramudya. Dia anggota TNI yang berdinas di kota ini juga. Sudah hampir tiga bulan terakhir ini hubungan kami dekat.

                        Dari beberapa pria yang dekat denganku, rasanya tidak ada yang bisa menandingi kelembutan dan ketulusan Galih. Pun jika dibanding dengan Dimas. Tapi tetap saja ada pertimbangan yang tidak jelas, hinggu slalu membuatku meletakkan nama Galih dipilihan paling bawah.

*******

           

 

Suara musik langgam jawa mengiringi hariku sejak kemarin. Melangkah di sebuah keputusan yang dipenuhi keraguan. Semua orang tampak sibuk hilir mudik mempersiapkan segala sesuatunya. Ada beberapa tamu yang menyalamiku memberiku ucapan selamat. Entah apa yang ada dihatiku kini. Seharusnya aku bahagia. Karena mungkin ini akan menjadi peristiwa sekali seumur hidupku.

            Aku seperti berdiri didunia lain. Kakiku kaku, seolah tak menyentuh tanah sedikitpun. Merasakan aroma lain yang asing. Aroma kisah pernikahankku. Sekitar satu atau dua jam lagi aku akan menyandang  gelar Nyonya Letda Dimas Pramudya. Ada sesak disini. Disebuah bulatan rasa, sepertiganya adalah rasa sesak yang teramat sangat selain dua pertiga yang lain adalah bahagia.

            Terlepas dari semua rasa itu, sebenarnya ada satu tamu yang teramat aku tunggu. Tanpa memikirkan perasaannya kini sehancur  apa, aku benar-benar mengharapnya menjadi saksi pernikahanku. Galih.

Suara nada dering sms membuyarkan lamunku. Galih.

“Selamat menempuh hidup baru Anjani-ku. Meski ingin sekali aku menyaksikan pernikahanmu, tapi sungguh aku tak sanggup. Entah seremuk apa hati ini. Entah berbentuk apa serpihannya kini. Rasanya aku tak mampu bernafas lagi. Tapi rasa cintaku yang teramat besar ini, aku yakin tidak akan membuatku membencimu. Aku slalu bilang, apapun yang kamu lakukan asal bisa membuatnya tersenyum, aku pasti akan mendukungmu. Anjani, aku akan membekukan hati. Aku pernah berjanji bahwa hati ini hanya kamu yang pantas memiliki. Dan jika kini kamu memutuskan untuk menerima hati lain, tak mengapa. Sampai kapanpun Anjani. Jika kelak kamu ingin kembali meminta hati ini, apapun keadaanmu, kapanpun itu, hati ini akan slalu ada untukmu.”

Sms panjang yang sungguh menohok. Airmataku benar-benar tak tertahan lagi. Entah apa yang aku inginkan kini. Lari dari situasi ini, atau menganggapnya hanya sebuah tulisan sampah yang pantas untuk di delete. Pengkhianatan yang nyata aku lakukan. Tapi yang jelas aku sudah pernah memintanya untuk meninggalkanku beberapa tahun silam. Meski kala itu Galih bersikukuh untuk tetap setia menantiku kembali.

“Anjani….” kata orang didepanku yang tiba-tiba mengulurkan tissue kearahku.

“Ibu…” bisikku. Ibu tersenyum manis kearahku.

“Buang semua kenangan itu. Sebentar lagi kamu akan menjadi istri Dimas. Tatap kedepan sayang.” Nasehatnya lembut. Aku mengangguk dan memeluknya. Dialah manusia yang paling mengerti semua perasaanku selain Galih.

 

*************

 

“Juna…….!” goda Dimas kepada kepada bayi mungil yang ada di pangkuanku.

“Iya ayah. Ayah nyetir aja ya….” jawabku sambil membelai kepala anak semata wayangku. Namaya Arjuna Pramudya. Buah cintaku bersama Dimas. Usianya baru 3 bulan. Dan kehadirannyalah yang menghapuskan keraguanku menjalani biduk rumah tangga bersama Dimas.

Aku menatap Dimas yang sedang menyetir disampingku. Menatap wajahnya yang tersenyum dengan penuh wibawa.

“Bunda, Apa kabar Galih sekarang?” tanya Dimas tiba-tiba memecah keheningan. Aku tersentak.

“Galih? Kenapa tiba-tiba ayah tanya Galih?”

“Sebenarnya waktu kita kerumah Ibu kemarin, ayah menemukan beberapa foto bunda dan Galih. Ayah gak mau berprasangka buruk, tapi kenapa foto-foto lama itu sampai sekarang masih belum dibuang juga? Bunda gak mungkin sengaja menyimpannya kan?” tanya Dimas mulai menginterogasiku.

Foto-foto itu? Jujur, sampai sekarang tidak sedikitpun aku mempunyai niat membuangnya. Meski entah kemana Dimas kini, tapi setidaknya aku masih mempunyai sedikit sisa-sisa kenangan bersama pria yang dulu aku janjikan hati.

“foto itu….mungkin ibu belum sempat membuangnya.” jawabku gugup.

“ibu? Kenapa harus menunggu ibu membuangnya? Seharusnya saat bunda dulu memutuskan untuk menikah dengan ayah, semua hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu yang memang sudah gak pantas dikenang itu buang jauh-jauh. Atau memang bunda sengaja menyimpannya? Bunda masih mengharapkan Galih? Pria yang menurut bunda berhati malaikat itu? ” katanya keras. Aku benar-benar tersinggung dengan kalimatnya ini. Sesuatu yang tak pernah terbayang akan menjadi topik pembicaraanku siang ini.

“ Tolong ayah, itu masa lalu, gak pantas untuk dibahas lagi. Lagipula bunda juga gak tahu dimana Galih sekarang, seperti apa dia….”

“Oh, jadi kalau seandainya bunda tahu kabar Galih, bunda masih mau membahasnya?”
“Ayah!” kataku dengan nada meninggi.

“Kenapa?”
“Bunda yang seharusnya tanya ke ayah. Ayah kenapa? Tiba-tiba membahas sesuatu yang seharusnya gak perlu dibahas lagi! Heran, pagi-pagi sudah ngajak berantem!”

“Ayah bahas! Tau kenapa sebabnya? Karena ayah juga tau, puluhan sms dari Galih masih tersimpan di ponsel bunda!” bentaknya keras. Aku tersentak. Sejak kapan Dimas mulai mengoprek isi ponselku.

“tapi….”

“Sekarang bunda mau ngomong apa? Kalau memang bunda masih punya rasa, masih mengharapkan Galih, silahkan! Bunda tau gak bagaimana sakitnya, punya istri yang ternyata masih memikirkan pria lain. Apalagi itu mantan kekasihnya!” kata Dimas berapi-api. Mukanya memerah. Baru kali ini aku melihat Dimas semarah itu. Menatapku tajam.

“itu yang bunda gak suka dari ayah! Selalu ingin menang sendiri! Selalu berprasangka buruk! Terlalu protektif! Terlalu cemburuan! Ayah beda dengan Galih! Selama bersama bunda, Galih gak pernah memperlakukan bunda seperti ini!!”

“Galih lagi, Galih lagi! Berani beraninya bunda membandingkan ayah dengan Galih!” Teriaknya

“Ayah….! awas….! ” teriakku merangkul Juna seerat-eratnya. Suara dencitan rem memekikkan telinga……….

 

************

Sayup-sayup suara lantunan ayat suci Al Qur’an menggema ditelingaku. Serasa berat membuka mata. Badanku terasa kaku.

“Anjani…” bisik seseorang.

Samar-samar aku melihat ibu didepan mataku. Mukanya sayu. Dia tersenyum penuh harap dengan Al Qur’an ditangannya.

“Ibu…dimana ini. Mana Juna? Mana Dimas?” tanyaku menahan sakit. Kakiku terasa sulit diangkat. Ibu menatapku lekat. Menahan tangis.

“Anjani…” panggil seseorang tiba-tiba muncul. Entah dari mana datangnya orang itu. Yang jelas bukan orang itu yang aku harapkan kehadirannya. Hanya Arjuna dan Dimas yang aku inginkan untuk berada disampingku kini.

 

*************

 

“ Aku pernah berjanji, jika kelak kamu ingin kembali meminta hati ini, apapun keadaanmu, kapanpun itu, hati ini akan slalu ada untukmu Anjani. Tapi terlepas dari kamu meminta atau tidak, aku benar-benar ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Hanya bersamamu. “ kata Galih waktu  itu. Memintaku menjadi pendampingnya saat tepat di peringatan 1 tahun meninggalnya Dimas.

Sejuta pertimbangan kembali mengaduk-aduk hatiku. Seandainya aku menerima Galih kembali, alangkah hinanya aku. Dulu mengkhianatinya diam-diam, dan dengan bangga mencampakkannya saat aku memutuskan untuk menikah dengan Dimas. Dan kini menerimanya saat aku benar-benar membutuhkanya.

Tapi jika aku menolakknya. Betapa bodohnya aku, menjadi wanita yang tidak tahu balas budi, tidak punya rasa terimakasih. Setelah setahun belakangan Galih merawatku, membantuku menjaga Juna, bahkan selalu disampingku hingga kakiku yang dulu sempat patah karena kecelakaan bisa sembuh kembali seperti sediakala. Dan bukan hanya untukku juga. Tapi juga buat Juna, buah hatiku bersama mendiang Dimas. Juna memang butuh sosok ayah. Apalagi diusianya kini.

Lama aku berfikir kala itu. Untuk pernikahan keduaku ini, benar-benar diluar dugaanku. Tapi Galih berhasil meyakinkanku. Dia memang sosok nahkoda yang sempurna di rumahtanggaku. Menjadi ayah yang baik untuk Juna, meski itu bukan anak kandungnya.

“Bunda…..!” panggil seorang anak menghampiriku. Anak yang baru berumur 2 tahun lebih itu berlari kearahku dengan wajah polos.

Aku tersenyum. Dan seorang pria berwajah manis dengan sejuta senyuman yang slalu mengembang dibibirnya, mengikuti dari belakang.

Aku memeluk Juna dengan sejuta rasa. Dan pria itu juga memelukku dengan sentuhannya yang lembut. Terimakasih Galih…. Untuk yang kesekian kalinya menjadi malaikat pelindungku.

“Ternyata bukan hanya lima tahun kita menghadapi masa-masa sulit itu Anjani. Bukan hanya hitungan lima jari seperti yang kamu janjikan saat itu, waktu yang harus kita lalui untuk kita bisa hidup bersama. Tapi aku bahagia. Bukan hanya karena memilikimu, tapi karena akhirnya aku bisa menepati janjiku untuk menyerahkan hatiku hanya kepadamu ” Bisik Galih pelan. Aku tersenyum kearahnya…..

 

SEKIAN

Tinggalkan komentar