Hitungan Lima Jari

Kau jaga slalu hatimu,

saat jauh dariku tunggu aku kembali

Ku mencintaimu slalu

Menyayangimu sampai, akhir menutup mata”

Lantunan lagu indah itu menemani perjalananku pagi ini. Oh, bukan perjalananku. Lebih tepatnya perjalanan Galih mengantarku menuju sebuah gerbang baru. Jalanan hari ini serasa sempit, pendek, dan sebentar. Andai saja aku nenek sihir, aku benar-benar akan menyihir dunia ini untuk tetap diam pada tempatnya. Tanpa ada langkah, tanpa ada detik jarum jam, dan tanpa ada kejadian menyesakkan yang sebentar lagi akan aku alami.

“Kenapa diam?” Tanya Galih menggenggam kedua tanganku yang sejak tadi saling mencekik diatas pangkuanku. Aku menggeleng. Menatapnya sesaat. Dan segera aku menambah volume music yang ada di dashboard mobil.

Galih hanya diam, mengecilkan volume music itu, dan menghela nafas panjang. Tanpa menatapku, dengan lembutnya membelai kepalaku.

“Seharusnya gk ada yang perlu kamu khawatirkan. Semua pasti baik-baik saja. Kamu tahu seberapa sebentarnya lima tahun itu? Rasanya hanya seperti kamu menghitung angka dari satu sampai lima. Setelah kelima jari itu habis, ya sudah.” kata Galih masih sambil mengendalikan stir mobilnya.

“aku……aku bahkan gk tahu besok akan seperti apa.”

“seandainya smua orang didunia ini tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, hidup gk akan semenarik ini.” jelasnya tanpa menatapku.

Hening. Aku diam lagi. Sejuta kalimat sudah ada diujung kepalaku sebenarnya. Tp untuk memaparkan satu persatu tampak sulit. Sulit untuk menyusunnya dengan rapih.

Aku tersentak saat Galih menghentikan mobilnya. Membukakan pintu untukku.

“Pergilah. Aku pasti menjadi salah satu manusia yang akan dengan tulus menunggumu kembali.”

Aku memeluknya erat. Sampai pada titik ini aku benar-benar mengharapnya setia. Mengharapnya menjadi seperti apa mauku.

“Hanya lima tahun. Hanya sampai aku menyelesaikan hitungan semua jari kananku, dan pasti kembali. Jangan pernah berfikir sekalipun, untuk lelah apalagi menyerah di masa-masa sulit kelak. Dan kamu harus datang di wisudaku nanti.” Pintaku meneteskan air mata.

“yah, aku janji” bisiknya lirih

“Aku janji, akan menjadi Anjani-mu yang gk akan pernah merubah hati. Aku janji, aku pasti akan kembali asal kamu tetap setia disini.”

“yah, aku tahu itu” Galih masih berbisik.

Dan hari itu, serasa menjadi hari tersingkat dalam hidupku. Sampai pada bus yang aku tumpangi melaju, meninggalkannya sendiri, sampai pada lambaian tangannya yang tak berhenti hingga tak tampak lagi, sampai pada air mataku yang terus menetes, dan entah sampai kapan…

************

 

Yang ada dikepalaku hanya terus mengharapnya menepati janjinya, meski aku masih belum yakin atas janjiku sendiri. Aku punya pegangan, aku punya sandaran, aku juga punya wadah besar yang akan terus mengikutiku yang siap menampung semua air mata dan keluh kesahku. Setidaknya itu yang menjadikanku setia sampai detik ini. Setia mengangkat setiap telfonnya.

“Aku akan memberikan ragaku, dan isinya, dan hatinya, dan seluruh cinta yang ada disini, meski sekalipun aku belum pernah membahagiakan ragamu. Tapi dengan segenap tenaga yang kupunya, aku akan berusaha ke titik itu. Ke titik dimana aku bisa memberikanmu segalanya seperti dulu. Segala yang kamu minta. Aku sedang merangkak Anjani. Mengejarmu. Hingga aku bisa berlari beriringan denganmu kembali. Biarpun aku tahu, kini langkahku tak selebar langkahmu. Simpan janjiku itu Anjani. Seberapa jauhpun hasilnya kelak, aku akan tetap meraihmu. Apapun yang dunia bilang, aku tidak akan pernah malu atas keadaanku. “ barisan kalimatnya ini sering tersyair untukku. Apalagi sesaat setelah suatu keadaan berat menimpa keluarga Galih. Saat bisnis keluarganya yang bangkrut, saat ayahnya meninggal karena serangan jantung, saat dia dikeluarkan dari kampus karena tidak bisa lagi membayar biaya kuliah, dan saat kini dia yang juga anak tunggal harus berjuang sendirian menghidupi dirinya sendiri dan ibunya yang juga sakit keras.

            Sungguh tahun pertama yang oleh Tuhan langsung diberikan cobaan yang maha dahsyat pada hubungan kami. Oh bukan kami. Lebih tepatnya pada hidup Galih. Karena ketika aku sampai di sini. Tempat dimana aku menempa hidupku, tiba-tiba saja mulutku selalu berat untuk membalas janjinya dengan janji lagi. Tapi ragu juga tepatnya sejak kapan. Sejak sampai disini, ataukan sejak Galih berubah hidupnya.

Selalu kaku. Berhubungan jauh dengannya bukan membuatku semakin rindu. Justru malah rasanya seperti aku tlah biasa hidup sendiri. Hanya ketika aku benar-benar merasa sesak yang hebat, aku baru akan menghubunginya. Entahlah, terlalu dini untuk bilang jika hatiku tlah berubah, atau jika cintaku sedikit demi sedikit memudar warnanya. Aku tidak ingin menebak.

Kadang terfikir, kenapa lidahku dulu begitu mudah mengucap janji saat melakoni kisah perpisahan dengannya. Lalu apa bedanya dengan kisah sekarang, untuk mengatakan “aku pulang” saja begitu sulit aku lakukan. Aku merindukannya. Dan aku tidak munafiq akan hal itu. Tapi kenapa berjauhan seperti ini justru semakin lama semakin nyaman saja?

“Selamat ulang tahun tulang rusukku, terimakasih karena disana kamu masih tegar berjuang. Terimakasih tlah menjadi Anjani-ku yang slalu aku rindukan. Ini tahun keduamu bukan? Bagaimana dengan hitungan jarimu? Pasti sudah sampai di jari manis kan? Selamat ya…aku bangga memilikimu. Dan cincin ini semoga menjadi pengingat jika hitunganmu telah sampai dijari manismu. Tinggal tiga jari lagi Anjani. Kamu pasti bisa melewatinya. Dan tetaplah menjadi Anjani manisku yang setia menjaga hatinya karena janjimu kelak hanya akan kamu berikan untukku.”

Sungguh hadiah ulang tahun terindah sebenarnya. Cincin manis bermata satu yang tertanam kuat. Sesuatu yang tidak aku sangka akan Galih kirimkan untukku. Tapi aku justru berprasangka lain atas maksud hadiah ini. Iya, memang di hari ulang tahunku. Tapi bukankah cincin dijari manis adalah tanda bahwa dia memang benar-benar menginginkanku seutuhnya?

Kadang terbayang betapa sulitnya dia berjuang disana kini. Keadaan yang memang sudah tidak segampang dulu. Mungkin untuk makan saja dia harus memeras puluhan liter keringat. Tidak sperti dulu yang jika menginginkan sesuatu tinggal menjentikkan sedikit jari, lalu segala terpenuhi.

 

*******

 

Aku membuka mataku. Nada dering sms di ponselku pagi ini membangunkanku.

“Pagi Anjani-ku. Hari yang indah. Lekas bangun, ucapkan syukur pada Tuhan, dan pergilah menjemput mimpi.”

Aku hanya tersenyum simpul. Perhatian-perhatian kecil seperti ini tidak pernah dia tinggalkan setiap hari. Meski kadang hanya menjadi sampah di ponselku yang belum tentu aku meluangkan waktu untuk sekedar membalasnya.

Aku tidak munafiq. Bahwa pria yang sempurna hatinya, hanya Galih. Bahkan aku sering menyebutnya manusia berhati malaikat. Selalu bisa menempatkan apa yang seharusnya menjadi sikapnya. Galih yang “ngemong”, Galih yang slalu bisa menyelesaikan masalah secara dewasa, Galih yang selalu punya dada terbuka untuk memelukku disetiap sesakku, dan Galih yang bertangan malaikat hingga disetiap sentuhannya slalu mampu menentramkanku. Sosok calon imam yang baik sebenarnya. Hanya selalu saja ada hal yang membuatku terus mempertimbangkannya kembali.

            Sempat terfikir untuk mengakhiri semuanya. Memberikannya banyak waktu mungkin hanya akan membuatnya memperoleh banyak harapan. Sebab kadang aku merasa memang sudah lelah dengannya. Meski tanpa alasan yang jelas.

            Suara klakson mobil tiba-tiba menyeru didepan kontrakanku. Aku bergegas bangun.  Tampak sesosok pria berseragam loreng berada didepan pagar.

“hei…! baru bangun ya?” serunya dari luar. Aku tersenyum lebar. Membukakan pagar untuknya, dan meraih tangannya untuk membawanya masuk. Namanya Dimas Pramudya. Dia anggota TNI yang berdinas di kota ini juga. Sudah hampir tiga bulan terakhir ini hubungan kami dekat.

                        Dari beberapa pria yang dekat denganku, rasanya tidak ada yang bisa menandingi kelembutan dan ketulusan Galih. Pun jika dibanding dengan Dimas. Tapi tetap saja ada pertimbangan yang tidak jelas, hinggu slalu membuatku meletakkan nama Galih dipilihan paling bawah.

*******

           

 

Suara musik langgam jawa mengiringi hariku sejak kemarin. Melangkah di sebuah keputusan yang dipenuhi keraguan. Semua orang tampak sibuk hilir mudik mempersiapkan segala sesuatunya. Ada beberapa tamu yang menyalamiku memberiku ucapan selamat. Entah apa yang ada dihatiku kini. Seharusnya aku bahagia. Karena mungkin ini akan menjadi peristiwa sekali seumur hidupku.

            Aku seperti berdiri didunia lain. Kakiku kaku, seolah tak menyentuh tanah sedikitpun. Merasakan aroma lain yang asing. Aroma kisah pernikahankku. Sekitar satu atau dua jam lagi aku akan menyandang  gelar Nyonya Letda Dimas Pramudya. Ada sesak disini. Disebuah bulatan rasa, sepertiganya adalah rasa sesak yang teramat sangat selain dua pertiga yang lain adalah bahagia.

            Terlepas dari semua rasa itu, sebenarnya ada satu tamu yang teramat aku tunggu. Tanpa memikirkan perasaannya kini sehancur  apa, aku benar-benar mengharapnya menjadi saksi pernikahanku. Galih.

Suara nada dering sms membuyarkan lamunku. Galih.

“Selamat menempuh hidup baru Anjani-ku. Meski ingin sekali aku menyaksikan pernikahanmu, tapi sungguh aku tak sanggup. Entah seremuk apa hati ini. Entah berbentuk apa serpihannya kini. Rasanya aku tak mampu bernafas lagi. Tapi rasa cintaku yang teramat besar ini, aku yakin tidak akan membuatku membencimu. Aku slalu bilang, apapun yang kamu lakukan asal bisa membuatnya tersenyum, aku pasti akan mendukungmu. Anjani, aku akan membekukan hati. Aku pernah berjanji bahwa hati ini hanya kamu yang pantas memiliki. Dan jika kini kamu memutuskan untuk menerima hati lain, tak mengapa. Sampai kapanpun Anjani. Jika kelak kamu ingin kembali meminta hati ini, apapun keadaanmu, kapanpun itu, hati ini akan slalu ada untukmu.”

Sms panjang yang sungguh menohok. Airmataku benar-benar tak tertahan lagi. Entah apa yang aku inginkan kini. Lari dari situasi ini, atau menganggapnya hanya sebuah tulisan sampah yang pantas untuk di delete. Pengkhianatan yang nyata aku lakukan. Tapi yang jelas aku sudah pernah memintanya untuk meninggalkanku beberapa tahun silam. Meski kala itu Galih bersikukuh untuk tetap setia menantiku kembali.

“Anjani….” kata orang didepanku yang tiba-tiba mengulurkan tissue kearahku.

“Ibu…” bisikku. Ibu tersenyum manis kearahku.

“Buang semua kenangan itu. Sebentar lagi kamu akan menjadi istri Dimas. Tatap kedepan sayang.” Nasehatnya lembut. Aku mengangguk dan memeluknya. Dialah manusia yang paling mengerti semua perasaanku selain Galih.

 

*************

 

“Juna…….!” goda Dimas kepada kepada bayi mungil yang ada di pangkuanku.

“Iya ayah. Ayah nyetir aja ya….” jawabku sambil membelai kepala anak semata wayangku. Namaya Arjuna Pramudya. Buah cintaku bersama Dimas. Usianya baru 3 bulan. Dan kehadirannyalah yang menghapuskan keraguanku menjalani biduk rumah tangga bersama Dimas.

Aku menatap Dimas yang sedang menyetir disampingku. Menatap wajahnya yang tersenyum dengan penuh wibawa.

“Bunda, Apa kabar Galih sekarang?” tanya Dimas tiba-tiba memecah keheningan. Aku tersentak.

“Galih? Kenapa tiba-tiba ayah tanya Galih?”

“Sebenarnya waktu kita kerumah Ibu kemarin, ayah menemukan beberapa foto bunda dan Galih. Ayah gak mau berprasangka buruk, tapi kenapa foto-foto lama itu sampai sekarang masih belum dibuang juga? Bunda gak mungkin sengaja menyimpannya kan?” tanya Dimas mulai menginterogasiku.

Foto-foto itu? Jujur, sampai sekarang tidak sedikitpun aku mempunyai niat membuangnya. Meski entah kemana Dimas kini, tapi setidaknya aku masih mempunyai sedikit sisa-sisa kenangan bersama pria yang dulu aku janjikan hati.

“foto itu….mungkin ibu belum sempat membuangnya.” jawabku gugup.

“ibu? Kenapa harus menunggu ibu membuangnya? Seharusnya saat bunda dulu memutuskan untuk menikah dengan ayah, semua hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu yang memang sudah gak pantas dikenang itu buang jauh-jauh. Atau memang bunda sengaja menyimpannya? Bunda masih mengharapkan Galih? Pria yang menurut bunda berhati malaikat itu? ” katanya keras. Aku benar-benar tersinggung dengan kalimatnya ini. Sesuatu yang tak pernah terbayang akan menjadi topik pembicaraanku siang ini.

“ Tolong ayah, itu masa lalu, gak pantas untuk dibahas lagi. Lagipula bunda juga gak tahu dimana Galih sekarang, seperti apa dia….”

“Oh, jadi kalau seandainya bunda tahu kabar Galih, bunda masih mau membahasnya?”
“Ayah!” kataku dengan nada meninggi.

“Kenapa?”
“Bunda yang seharusnya tanya ke ayah. Ayah kenapa? Tiba-tiba membahas sesuatu yang seharusnya gak perlu dibahas lagi! Heran, pagi-pagi sudah ngajak berantem!”

“Ayah bahas! Tau kenapa sebabnya? Karena ayah juga tau, puluhan sms dari Galih masih tersimpan di ponsel bunda!” bentaknya keras. Aku tersentak. Sejak kapan Dimas mulai mengoprek isi ponselku.

“tapi….”

“Sekarang bunda mau ngomong apa? Kalau memang bunda masih punya rasa, masih mengharapkan Galih, silahkan! Bunda tau gak bagaimana sakitnya, punya istri yang ternyata masih memikirkan pria lain. Apalagi itu mantan kekasihnya!” kata Dimas berapi-api. Mukanya memerah. Baru kali ini aku melihat Dimas semarah itu. Menatapku tajam.

“itu yang bunda gak suka dari ayah! Selalu ingin menang sendiri! Selalu berprasangka buruk! Terlalu protektif! Terlalu cemburuan! Ayah beda dengan Galih! Selama bersama bunda, Galih gak pernah memperlakukan bunda seperti ini!!”

“Galih lagi, Galih lagi! Berani beraninya bunda membandingkan ayah dengan Galih!” Teriaknya

“Ayah….! awas….! ” teriakku merangkul Juna seerat-eratnya. Suara dencitan rem memekikkan telinga……….

 

************

Sayup-sayup suara lantunan ayat suci Al Qur’an menggema ditelingaku. Serasa berat membuka mata. Badanku terasa kaku.

“Anjani…” bisik seseorang.

Samar-samar aku melihat ibu didepan mataku. Mukanya sayu. Dia tersenyum penuh harap dengan Al Qur’an ditangannya.

“Ibu…dimana ini. Mana Juna? Mana Dimas?” tanyaku menahan sakit. Kakiku terasa sulit diangkat. Ibu menatapku lekat. Menahan tangis.

“Anjani…” panggil seseorang tiba-tiba muncul. Entah dari mana datangnya orang itu. Yang jelas bukan orang itu yang aku harapkan kehadirannya. Hanya Arjuna dan Dimas yang aku inginkan untuk berada disampingku kini.

 

*************

 

“ Aku pernah berjanji, jika kelak kamu ingin kembali meminta hati ini, apapun keadaanmu, kapanpun itu, hati ini akan slalu ada untukmu Anjani. Tapi terlepas dari kamu meminta atau tidak, aku benar-benar ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Hanya bersamamu. “ kata Galih waktu  itu. Memintaku menjadi pendampingnya saat tepat di peringatan 1 tahun meninggalnya Dimas.

Sejuta pertimbangan kembali mengaduk-aduk hatiku. Seandainya aku menerima Galih kembali, alangkah hinanya aku. Dulu mengkhianatinya diam-diam, dan dengan bangga mencampakkannya saat aku memutuskan untuk menikah dengan Dimas. Dan kini menerimanya saat aku benar-benar membutuhkanya.

Tapi jika aku menolakknya. Betapa bodohnya aku, menjadi wanita yang tidak tahu balas budi, tidak punya rasa terimakasih. Setelah setahun belakangan Galih merawatku, membantuku menjaga Juna, bahkan selalu disampingku hingga kakiku yang dulu sempat patah karena kecelakaan bisa sembuh kembali seperti sediakala. Dan bukan hanya untukku juga. Tapi juga buat Juna, buah hatiku bersama mendiang Dimas. Juna memang butuh sosok ayah. Apalagi diusianya kini.

Lama aku berfikir kala itu. Untuk pernikahan keduaku ini, benar-benar diluar dugaanku. Tapi Galih berhasil meyakinkanku. Dia memang sosok nahkoda yang sempurna di rumahtanggaku. Menjadi ayah yang baik untuk Juna, meski itu bukan anak kandungnya.

“Bunda…..!” panggil seorang anak menghampiriku. Anak yang baru berumur 2 tahun lebih itu berlari kearahku dengan wajah polos.

Aku tersenyum. Dan seorang pria berwajah manis dengan sejuta senyuman yang slalu mengembang dibibirnya, mengikuti dari belakang.

Aku memeluk Juna dengan sejuta rasa. Dan pria itu juga memelukku dengan sentuhannya yang lembut. Terimakasih Galih…. Untuk yang kesekian kalinya menjadi malaikat pelindungku.

“Ternyata bukan hanya lima tahun kita menghadapi masa-masa sulit itu Anjani. Bukan hanya hitungan lima jari seperti yang kamu janjikan saat itu, waktu yang harus kita lalui untuk kita bisa hidup bersama. Tapi aku bahagia. Bukan hanya karena memilikimu, tapi karena akhirnya aku bisa menepati janjiku untuk menyerahkan hatiku hanya kepadamu ” Bisik Galih pelan. Aku tersenyum kearahnya…..

 

SEKIAN

Senja Di Bualanku

 

            Ketika semuanya harus berakhir, aku memang memilih lekukan itu. Meskipun sebenarnya ini bukanlah suatu pilihan. Dan inipun bukan pula sebagai wujud sebuah keputus asaan. Karena ini adalah tumpukan dari beribu-ribu goresan yang bahkan permulaannya sudah tak tampak lagi.

 Bertambah dan terus bertambah, hinga warna dasarnya berubah menjadi kerak yang mebatu dan gosong tersulut amarah. Itulah sebenarnya pokok kelopak suatu pilihan yang kini terbit di seberang sana. Aku menyebutnya sebagai “diorma hati”. Komposisinya yang dimonopoli oleh benci dan kecewa, membuat lapisan diatasnya megikutiku dengan perlahan. Kadarnyapun berbeda. Jika kukatakan bahwa kemanusiaan menjadi tolak ukur kelanaku, itu salah.

            Lebih realistis bahwa ini adalah kemanusiaan pribadi. Mengenai nurani individu tepatnya. Tapi aku bukan orang yang idealis. Keinginanku hanya meluapkan apa yang aku rasakan, hingga percikan itu mengenai orang lain, mampu ditangkap, dan berakhir pada pendapatnya tentang luka. Jadi seperti yang aku ungkapkan, “aku bukan ingin orang lain mengetahui kemampuanku”, tapi  “aku hanya ingin orang lain tahu dan ikut merasakan apa yang sedang aku rasakan”.

            Kesannya egois. Ya, aku tahu itu. Tapi aku lebih suka jika ini disebut pemerataan rasa. Terutama penyempurnaan dari kecewaku yang berjajar membentuk barisan luka. Itu yang ingin kubagi. Bukan lewat ceritaku. Melainkan dengan menggoreskan belati dibelahan hati yang mereka bangga-banggakan kemampuannya.

            Membuka cerita di lembaran-lembaran maya, menuliskan sesuatu diatasnya, menandai hingga dia merasa ada, setelah selesai di halaman terakhir, album itu akan aku bakar. Jangan tanyakan perasaan pemiliknya. Aku benci melihat hal sedetail itu. Yang jelas mau tidak mau dia harus rela. Toh juga semua terlanjur mengabu. Biar mereka rasakan.

            Diam! Ini bukan pelampiasan. Bukan pula caraku untuk menghindari kenyataan. Salah siapa goresan itu ada. Toh ini tidak lagi sebuh adiposa lara yang pada akhirnya kini meledak-ledak bak bom waktu dihatiku.

            Dan jangan sebut aku pengecut! Karena aku bukan orang yang penakut! Buktinya sampai sekarang nafas itu masih ada, masih bertitah pula. Hingga aku mampu melakukan semua ini juga karena aku berani.

            Aku juga tidak mau disebut pecundang! Sebab kenyataanya merekalah yang kupecundangi sampai detik ini. Mereka saja yang bodoh. Apa mereka pikir, bibir indah ini tidak sebahaya raja kobra? Oh, pasti mereka salah dan tak pernah menyangka. Sebab dibalik senyum manis, kata yang lembut, wajah yang cantik, sejujurnya tersimpan duri yang tak tertandingi tajamnya.

            Mereka hanya melihat sampulku. Tanpa tahu ada tulisan apa didalamya. Dan kemalasan mereka untuk meluangkan waktu memahamilah, yang menjadi lorong bagiku menembus lapisan koral di jiwa mereka. Dan satu lagi kekurangan mereka, yakni tidak mampu menyadari bahwa zat-zat itu telah bercampur menjadi madu hingga pahitnya tak terdengar lagi. Mereka lupa, mereka tuli, jika dihati mereka telah terkontaminasi dengan senjata pemusnahku. Yah, rayuan semuku.

            Jadi jangan tuding aku sebagai duaja. Aku tak peduli denga air mata orang, hati orang, bahkan sukma-sukma cinta yang bergentayangan mencari pembunuh rasa. Jelas saja tak akan pernah mereka temukan. Sebab aku bukan pembunuh. Aku hanya operator hati yang bertugas memberikan titik ketika perjalanan mereka masih jauh dari dermaga. Bukannya iri. Aku hanya ingin orang lain merasakan apa yang aku rasakan dulu.

            Dulu saja tak ada orang yang peduli. Meski ketika air mata itu telah menjadi darah sekalipun, tak ada mata yang melirik. Sungguh sakit, jika saat itu aku bisa bicara. Dengan semaunya mereka membuatku kecewa. Jadi  jangan salahkan aku jika kini aku ingin membalas semuanya.

 

******

           

Aku merebahkan badanku. Menatap langit-langit kamar yang kian hari warnanya semakin memudar saja. Putihnya kini bak mendung di siang hari. Senyuman-senyuman sinis itu mulai tertoreh lagi. Bersama dengan puluhan ide indah yang akan kutunjukan hari ini dan besok. Sungguh, semakin lama kepuasan yang kudapatkan semakin banyak saja.

            Aku memang cerdas. Semakin tinggi rasa dendam itu, maka semakin bertambah pula ranting-ranting gagasan yang akan tersusun rapi dalam jadwal kerjaku. Satu yang kuyakini, esok aku pasti tertawa. Oleh semua yang bisa kubuat luka.

            Suara ponsel yang bergetar disamping tanganku, membuatku untuk sejenak menghentikan harapan. Dan senyumku kembali merekah tatkala sebuah nama muncul dilayar ponselku.

“Iya Dim…” sapaku.

“Hari ini jadi?” tanya seseorang.

“Pasti!” jawabku singkat dan segera mematikan teleponku.

Aku meraih jaket berwarna cokelat dari atas kursi dan bergegas keluar kamar.

“Mita mau kemana?” tanya seseorang yang tiba-tiba berada di depan pintu kamarku. Aku menatapnya tajam.

“Ada urusan sebentar. Aku titip mama dan kamu jangan pergi kemana-mana.” Jawabku ketus.

Aku segera melanjutan langkah ketika laki-laki itu menahan tangan kananku.

“Mita, ada Ardi diluar” katanya pelan.

“Sial” gerutuku menepuk kening.

“Apa dia juga….?”

“Berapa kali aku harus bilang, kamu jangan pernah ikut campur!” kataku keras dan dengan cepat melangkah meninggalkanya.

            Aku enggan memperpanjang kalimatku. Sebab itu sama saja seperti aku membuka forum debat bersamanya. Terlalu sering aku kalah saat beradu argumen dengannya. Tentu saja mengenai masalah yang kini menjadi benang merah jalanku.

            Namanya Rama. Dia sepupuku, anak dari kakak papa yang tinggal di Jogja. Baru seminggu ini dia tinggal di rumahku. Awalnya dia memang tidak tahu apa-apa. Tapi sikapnya yang intelegen, membuat dia tahu semuanya. Oh, salah! Belum semua. Sebab akar dari pohon kebencian yang selama ini kutanam belum dia lihat.

            Rama terlalu meninggikan perasaan. Bahkan bisa aku katakan dia terlalu lembek untuk menyikapi masalah. Buat aku, rasio nomor satu. Ketika aku disakiti sekian banyak orang yang gender-nya sama, maka aku pasti menilai bahwa mayoritas dari mereka juga mempunyai sisi yang sama pula. Tidak usahlah kita terlalu menerawang hati kita. Bahkan membayangkan betapa terlukanya hati mereka. Tapi Rama lain. Buatnya, rasakan dulu jika itu terjadi pada diri kita. Rasakan betapa sakitnya, maka goresan itu tidak akan pernah kita buat.

            Oh, sungguh prinsip yang sangat berseberangan. Dan satu lagi yang paling kubenci dari dia. Bahasanya terlalu intelek. Dia terlalu puitis juga buatku. Mungkin dia baru saja menelan mentah-mentah kamus Bahasa Indonesia. Itu yang membuatku selalu kalah dalam gencatan senjata argumen selama ini. Satu ucapannya yang masih kuingat, “Sepertinya ada yang salah dengan interior hati kamu. Entah cara penataannya, ataukah memang arsiteknya yang sengaja membuatnya berbeda.”

            Apa? Interior? Arsitek? Dia terlalu banyak berkhayal. Hingga mampu mengkiaskan hati menjadi sebuah rumah. Apalagi saat dia berkata, “kamu tak ubahnya seperti seorang kabit. Apa kamu tidak pernah berfikir jika semua ini hanya akan memperumit persoalan. Aku yakin, suatu saat nanti kamu pasti akan bertemu dengan sesuatu yang menghalangi jalanmu. Bahkan kamu anggap duri. Meskipun sesungguhnya itulah nur yang akan menerangimu menuju penyelesaian.”

            Konyol sekali! Apa maksunya berkata seperti itu terhadapku? Ah, sudahlah. Memikirkanya bak memikirkan relevansi metamorfisis kupu-kupu. Entah yang mana yang ada lebih dulu. Kepompongkah, ulatkah, atau malah kupu-kupu.

            Atau bagaimana jika Rama kujadikan korbanku berikutnya setelah Dimas dan Ardi? Sungguh ide yang cemerlang. Rasa sesalku terhadapnya selama ini juga akan terbalaskan,  jika aku mampu mencampakkannya. Yah, besok Rama-lah targetku berikutnya. Setelah hari ini aku akan memutuskan hubungan semuku dengan Ardi dan Dimas.

 

****

 

Ini minggu kedua aku mendekati Rama. Hal yang sangat mudah kulakukan karena memang aku serumah dengannya. Mungkin dia berfikir bahwa aku telah berubah dan bukan Mita yang dulu lagi. Dia sama gampangnya seperti duapuluh korbanku yang lain, yang mungkin kini sedang mengerang-erang kesakitan karena kulukai hatinya.

            Tapi ada yang berbeda dari Rama. Mungkin sikapnya sudah menunjukkan bahwa dia sayang padaku. Tapi kenapa sampai sekarang dia belum juga memintaku untuk menjadi kekasihnya? Walau demikian, tak apalah. Mungkin dia belum seberani laki-laki lain. Yang jelas, sekarang dia mengajakku untuk makan malam diluar.

“Rama?” sesosok gadis mengagetkan kami. Membuatku dan Rama menghentikan langkah.

“Hai…”sapa Rama ramah terhadapnya. Aku mengerutkan wajah. Gadis itu terlihat manis dengan senyum simpulnya. Tangan Rama yang tadinya menggantung ditangannku, kini dengan cepat beralih ketangan gadis itu.

“Rama, siapa dia?” tanyaku ketus. Rama hanya tersenyum dan kembali melanjutkan obrolannya dengan sosok manusia dihadapannya.

“Mit, kamu cari meja dulu aja ya. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan Meyfa sebentar. Kamu duluan aja. Nanti aku nyusul.” Kata Rama kepadaku. Mereka bergegas meninggalkanku dan duduk di meja paling pojok restoran ini.

            Oh, jadi namanya Meyfa. Memang dia siapa? Dan sepenting apa dia? Sampai Rama tega menyuruhku duduk dulu, sementara mereka enak-enakan ngobrol berdua.

            Tanganku masih memainkan sedotan diminuman yang baru saja kupesan. Sesekali tatapanku kuarahkan pada mereka yang entah sudah berapa menit meninggalkanku bak ayam kelaparan di sini.

            Mesra sekali mereka. Apa jangan-jangan itu pacar Rama? Bukan, karena aku yakin Rama hanya sayang padaku. Tapi, kenapa hatiku menjadi tidak karuan melihat keakraban mereka berdua? Tidak! Ini bukan cemburu! Aku sama sekali tidak menyukai Rama. Jadi tidak ada sedikitpun alasan untukku cemburu.

            Ya Tuhan, kenapa perasaanku semakin tidak enak. Sabar Mita….sabar. Aku harus yakin, jika Rama hanya sayang padaku. Dan aku sama sekali tidak menyayangi Rama. Aku tidak boleh menggunakan perasaan seperti ini. Bukankah tujuan utamaku hanya membuat Rama takhluk lalu kemudian aku tinggalkan?

            Sekali lagi tidak! Aku tidak cemburu. Dan sampai kapanpun aku tidak boleh cemburu. Rama adalah targetku. Jadi dia sama dengan laki-laki lain yang selama ini kupecundangi. Dia hanya untuk ditemui, ditakhlukan lalu kemudian ditinggalkan begitu saja. Sebab semua laki-laki sama. Termasuk Rama. Mereka hanya pantas dilukai. Bukan untuk dicintai sepenuh hati. Itu salah mereka sendiri. Toh juga selama ini mereka hanya bisa membuatku kecewa.

 

*****

 

Aku duduk dengan sejuta kegelisahan yang sedari tadi menghimpitku. Kemana saja Rama? Apa yang dia lakukan dengan gadis bernama Meyfa itu? Kenapa belakangan ini dia sering jalan berdua dengan Meyfa? Apa yang terjadi?

            Rasanya aku tidak hanya mengkhawatirkan kegagalan rencanaku beberapa minggu yang lalu untuk menakhlukkan Rama. Tapi jauh dari semua itu, yang paling kutakutkan ialah jika Rama benar-benar jatuh cinta dengan Meyfa. Ada perasaan tidak relai disini. Di hatiku tepatnya. Entah kenapa rasa ini ada. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi seperti sekarang ini. Ah, mungkin ini hanya fermentasi dari rasa ambisiku dan rasa keenggananku untuk gagal dan kalah. Bukan suatu rasa yang kuharap tak akan pernah lagi hadir dihatiku. Rasa yang tak sudi lagi kuucap.

            Bukannya aku takut, aku hanya jijik jika rasa itu untuk kesekian kalinya harus singgah dipelupuk hatiku. Semua jendela dan celah telah lama kututup. Untuk menghindari jika tiba-tiba suatu saat ada orang yang tergoda dengan warnanya. Aku enggan memelihara rasa itu. Sebab dia juga butuh penumbuh tirta yang kata orang memerlukan waktu yang lama.

            Satu lagi yang membuatku tak sudi mengizinkan rasa itu masuk kedalam bara sukma. Yakni sifatnya yang selalu mengkait-kaitkan banyak orang. Dia tidak mau berdiri sendiri. Dia pincang! Jadi  jika aku memelihara rasa itu, mau tidak mau aku harus mencari tumbal yang mau ikut merasakannya. Dan jika tumbal itu tidak kudapatkan, dia pasti menghukumku. Dengan terikan-teriakannya, dengan tanduknya, dan apalah itu sehingga rasa nyeri yang teramat sangat menjadi makananku.

            Jadi aku menganggapnya sebagai sabana. Aku malas membawa berpuluh-puluh liter air dan pupuk hanya untuk menyuburkan padang rumput yang sama sekali tak ada manfaatnya. Panas, jauh, bahkan masih banyak rintangan lain untuk memberikan tahta abadiku kepada ‘rasa’ itu.

            Bukannya aku malas berkorban. Aku tidak mau saja jika menabur garam dilautan. Sudah kutanam semuanya dengan kasih sayang, namun hasilnya mereka pergi begitu saja tanpa ingat siapa yang membuatnya ada. Kecewa? Itu rumus pasti. Harus aku ulangi berapa kali, jika aku tidak mau lagi kecewa. Melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya.

“Hei, Mit. Tumben dirumah aja?” tanya Rama tiba-tiba berada disampingku. Aku tersenyum.

“Dari mana kamu?”

“Seperti biasa, dari rumah Meyfa.”

“Apa kamu……”

“Do’ain ya. Nanti malam rencananya aku mau meminta Meyfa untuk jadi pacar aku.” Katanya. Aku tersentak.

“Gak! Kamu gak boleh pacaran sama Meyfa. Karena kamu harus jadi pacar aku!” tanpa aku sadari kalimat itu meluncur dengan bebasnya dari mulutku.

“Apa?”

“oh…..maksudku….” aku masih berusaha mencari dalih yang tepat atas kebodohan yang baru saja aku lakukan.

“Jadi ternyata aku yang menjadi target sang pembual berikutnya? Sungguh menyakitkan! Tapi beruntung sekali aku. Cinta itu ada bukan buat kamu. Tapi buat Meyfa. Orang yang bisa memahami arti cinta yang sesungguhnya. Bukan orang yang mengatasnamakan cinta untuk mengeksplorasi rasa dendamnya. Jadi maaf, jika hari ini aku mengecewakanmu.” Kata Rama berapi-api. Dia bergegas pergi meninggalkanku. Dan detik itu pula aku lunglai. Keangkuhan dan kesombongan yang selama ini ada, berkeliling menertawakan kekalahanku. Tangisan itu mau tidak mau harus ada. Mungkin sudah saatnya mereka menemuiku, setelah sekian bulan kubenamkan dibawah keranda dendamku.

“kamu tidak perlu menangis,” kata seseorang mengulurkan sapu tangan kepadaku.

“Rama?” bisikku tak percaya.

“Maafkan aku ya… sebenarnya ini yang aku tunggu dari kamu. Aku hanya ingin kamu tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dan terluka dalam detik yang sama. Banyak orang yang sudah merasakan betapa perihnya hati mereka seperti hatimu saat ini. Dan kamu juga harus tahu, bahwa tidak semua laki-laki itu sama. Mungkin kamu pernah dilukai oleh beberapa dari mereka. Tapi bukan berarti semua laki-laki sehina itu kan?” nasehat Rama bijak. Dia menatapku erat. Sejurus kemudian, Rama mengenggam tanganku.

“Nampaknya hari ini kamu harus mengakui beberapa hal. Selain kamu harus menyalutkan kemenanganku, kamu juga harus mengakui bahwa kamu jatuh cinta kan kepadaku?”tanya Rama. Aku tersenyum tipis. Dia memelukku.

            Akhir seperti apa ini? ini bukan akhir yang kuinginkan. Jatuh cinta? Bahkan beberapa waktu yang lalu aku sudah bersumpah untuk tidak menyebut dua kata itu lagi. Masa iya, revolusi kehidupanku hanya berakhir pada sebuah siklus seperti ini. Berasal dari sebuah cinta dan diakhiri oleh cinta pula. Jujur, aku tidak suka pola melingkar seperti ini.

            Seandainya aku sutradara hidup, pasti akan kuatur sedemikian rupa hingga berjalan lurus seperti yang kuinginkan. Sayang, tak satupun penyair mau menjadikan kisahku ini sebagai sebuah skema cerita yang berakhir bahagia. Memang inipun bahagia, tapi mengikari kokokkanku sendiri adalah suatu hal yang memalukan!

            Berbalik, tiba-tiba memutar segala rute pemikiran yang lama kutancapkan didalam sini, bukanlah aku. Jadi jangan salahkan aku jika aku kini melakukannya. Keadaan yang memaksaku demikian. Bukan aku, yang dulu dengan bangga menobatkan diriku sendiri sebagai ratu kancil si pembual cinta. Tapi masalahnya, kenapa akhir dari semua ini tak bisa kutentukan?

            Sekali lagi yang paling kusesali adalah ending kisahku ini, kenapa aku hanya mampu menentukan bagian tengah dari seluruh rangkaian cerita? Tanpa mampu membuat pembukaan dan penyelesaian yang sempurna. Sesuai dengan keinginanku tentunya. Dan jangan sebut ini karma atas tingkahku meremukkan hati-hati manusia selama ini.

            Sebab menurutku ini hanya konfigurasi mengenai konsekuensi hidup. Bahwa setiap pilihan hidup itu ada implikasi yang mengiringi dibelakangnya. Tapi justru ini yang tidak aku sukai. Implikasinya terlalu teoristis. Saat orang menebar sesuatu yang buruk maka dia akan menuai hal yang buruk pula. Nasehat yang klasik untuk didengar.

            Petani saja yang menebar benih padi, mau tidak mau dia harus melihat padi tumbuh bersama musuh abadinya, yakni rumput. Jadi jangankan manusia yang suka mengumbar kebencian. Saat manusia berusaha menuliskan kebaikan saja, hasilnya ada positif dan ada negatifnya. Berusaha lebih baik adalah kunci hidup. Semua ini memang kata orang.

            Karena aku belum pernah membuktikannya. Bagiku filosopi itu terlalu manusiawi. Bak sebuah macapat yang terbang menari-nari menghindari buih dilautan. Pondasi hidup yang kata penasehat perlu dibangun. Apa itu? Bahasanya terlampau tinggi untuk kujangkau. Tak satupun kalimat itu kupahami dengan baik.

            Ah, apapun yang terjadi aku tetap tidak menyukai bentuk penyelesaian seperti ini. Alasannya jelas, yakni model ini sedikitpun tidak berpihak kepadaku.

 

 

SELESAI